Sungguh
kita rasakan keprihatinan yang mendalam tentang kisah anak muda zaman sekarang.
Ada penurunan tingkat kualitas generasi muda yang sudah merambah baik dari
aspek moralitas, keagamaan, sosial, spiritual dan ideologis. Kasus-kasus
perkelahian antar pelajar, maraknya penggunaan narkoba, pergaulan bebas,
konsumerisme, hilangnya rasa kesantunan anak muda, kriminalitas remaja dan sihir radikalisme
terhadap anak muda.
Kalau
dulu kita bangga dengan tampilnya tokoh-tokoh muda zaman pergerakan seperti
Soekarno, Hatta, Agus Salim, Syahrir, Wahid Hasyim dan masih banyak lainnya.
Mereka inilah yang menjadi “energi” kemerdekaan bangsa sekaligus pembangun
format bangsa yang berkarakter dan berkepribadian.
Kini,
kita miris dengan fenomena makin menipisnya “karakter” yang dimiliki khususnya
anak muda kita. Tiba-tiba, kita jadi tersentak tentang kisah M. Syarif, anak
muda yang dengan kalapnya melakukan bom bunuh diri di Mapolsek Cirebon disaat
jamaah tengah melakukan shalat Jumat. Akibat hipnosa sebuah kelompok puritan-radikal,
Syarif juga tega-teganya mengkafirkan bapaknya, hanya karena perbedaan
pandangan keislaman. Contoh kasus paling “soft”,
fakta banyaknya anak muda yang karena tersihir faham puritan, sontak kemudian
suka membid’ahkan keluarganya yang tidak sepaham. Ada pula, anak-anak muda yang
terdoktrin untuk tidak mau menghormati bendera merah-putih, karena bisa membawa
kesyirikan. Ini juga fakta yang mencemaskan, karena akibat pengaruh sektarian
yang sekalipun masih tampak lunak, tetapi dikuatirkan bisa menjadi “benih”
radikalisme.
Cobalah
pula kita saksikan panorama lanjut yang lebih ekstrem, ternyata
“pengantin-pengantin” yang dijadikan “tumbal” teroris dalam melakukan aksi bom
bunuh dirinya selama ini juga dimainkan oleh anak muda. Begitupun terkuaknya
jaringan NII yang juga beraksi memakan korban anak muda dengan taktik bujuk
rayu bahkan dengan penculikan. Banyaknya anak muda yang terjerat faham puritan,
radikal dan sesat sepertinya bagai fenomena gunung es. Perlu penelitian lebih
seksama tentang keterpengaruhan anak muda terhadap radikalisme.
Tentu
saja, kita tidak menggeneralisasikan untuk semua anak muda. Kita masih
beruntung dan berbangga, masih ada anak-anak muda kita yang berprestasi dan
kreatif seperti mereka yang menjuarai olimpiade sains tingkat internasional,
tumbuhnya komunitas anak muda pecinta buku dan penulis muda, anak muda yang
kreatif dalam dunia seni dan budaya serta anak muda yang terjun menjadi relawan
bencana.
Reformasi
sepertinya bagai pedang bermata dua. Di satu sisi, era ini sangat menjanjikan
perubahan yang berarti yang akan melahirkan tatanan baru yang lebih baik. Di
sisi lain, reformasi telah menjelma menjadi “pil koplo”, yang membuat “lupa
daratan” sehingga ada masalah yang tercecer dan terkatung akibat lebih
dahsyatnya impian pembangunan fisik demi kesejahteraan. Ya, kita jadi lupa
tentang pentingnya nation chacacter building (pembangunan karakter bangsa).
Kita jadi siuman, setelah sebagian generasi muda kita menghisap dalam-dalam
kepulan ajaran dan pandangan sesat tentang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Radikalisme menjadi tumbuh membiak yang membuat banyak anak muda tercerabut
paksa dari akar kearifan budaya lokal.
Akhirnya,
para pengambil kebijakan negara menjadi sadar untuk mengupayakan sebuah
kebijakan demi memperkokoh kembali karakter bangsa. Menteri Pendidikan Nasional
Mohammad Nuh pun mencanangkan pentingnya pendidikan karakter dengan kebijakan
memulainya dari pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi. Implementasi
ketetapan tersebut dimulai sejak tahun ajaran baru 2011/2012, yang dimulai
Agustus nanti.
Kita
memang mendesak butuh lahirnya gerakan pendidikan karakter. Sebab, situasi
bangsa ini sudah menjurus pada tahap darurat karakter. Apapun ikhtiar dan daya
upaya untuk memperkokoh karakter bangsa akan kita sokong sepenuhnya. Dan ini
harus dilakukan secara konsisten dan kontinyu.
Menurut
Zakiah Daradjat dalam buku Ilmu Pendidikan Islam (2008), masa remaja adalah
masa peralihan, yang ditempuh oleh seseorang dari kanak-kanak menuju dewasa.
Masa perpanjangan dari kanak-kanak sebelum mencapai dewasa. Anak-anak jelas
kedudukannya, yaitu yang belum dapat hidup sendiri, belum matang dari segala
segi, tubuh masih kecil, organ-organ belum dapat menjalankan fungsinya secara
sempurna, kecerdasan, emosi dan hubungan sosial belum selesai pertumbuhannya.
Begitulah,
masa remaja adalah masa yang penuh kegoncangan jiwa, masa berada dalam
peralihan atau di atas jembatan goyang, yang menghubungkan masa kanak-kanak
yang penuh kebergantungan, dengan masa dewasa yang matang dan berdiri sendiri.
Dalam
pembagian tahap perkembangan manusia, masa remaja menduduki tahap progresif.
Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama pada para remaja
pun turut dipengaruhi perkembangan, dengan penghayatan para remaja terhadap
ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada para remaja. Perkembangan
agama pada remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan
jasmaninya yang antara lain disebabkan oleh pertumbuhan pikiran dan mental,
berkembangnya perasaan, pertimbangan sosial, perkembangan moral, sikap dan
minat serta soal ibadah (W.Starbuck dalam Jalaluddin, Psikologi Agama, 2010).
Jelaslah, kondisi psikologis remaja masih
labil. Malangnya, kondisi ini diperuncing oleh suasana sosial yang retak. Tak
heran, lakunya ajaran radikal dan sesat di kalangan anak muda juga lantaran
masyarakat kini mengalami kondisi yang serba tidak menentu. Akibatnya,
anak-anak muda berusaha mencari seorang pemimpin yang dapat dipercaya dan dapat
menerima krisis identitas mereka. Dalam sosiologi agama, ada istilah yang
disebut harapan eskatologis. Dalam harapan ini anak muda percaya bahwa pemimpin
mereka adalah juru penyelamat, Imam Mahdi, atau apa pun yang akan menyelamatkan
mereka. Harapan itu terbit karena pemahaman agama mereka belum mempunyai dasar
yang kuat. Mereka lalu mengalami misleading dalam pencarian.
Sudah
jatuh ketiban tangga, mungkin pepatah ini tepat untuk menggambarkan keadaan
lanjut. Ada faktor yang juga turut berperan, yaitu adanya kecenderungan
pembiaran umat oleh para pemuka agama, sehingga dimanfaatkan penyebar aliran
baru. Di sinilah, kepiawaian menjual ajaran itu muncul. Mereka dengan intens
mendatangi dan menawarkan bimbingan. Dalam aliran seperti ini, ada pemberian
pengampunan. Kepada setiap pengikut ditawarkan bisa langsung berhadapan dengan
sang imam misalnya untuk pengakuan dosa. Bertemu sang imam dan ada kepastian
dosa diampuni ini telah membuat hati umatnya benar-benar lega. Dengan sejumlah
nilai jual tersebut—boleh tidak shalat, puasa, zakat, haji, dan bisa diampuni langsung
oleh sang imam—puncaknya kelompok-kelompok tersebut berhasil menggaet ribuan
pendukung tak terkecuali anak-anak muda.
Bila
anak muda hanya mengikuti arus, sebagaimana mereka mengikuti trend dalam musik,
fashion atau gaya hidup-gaya hidup moderen lainnya tanpa bersikap kritis, maka
mereka akan mudah terjebak dalam arus pemikiran dan ajaran yang menyimpang.
Nah, budaya sikap kritis perlu diperkuat kembali. Dunia kampus kita sekarang
mengalami degradasi dalam hal membangun insan akademis yang kritis. Kita
sungguh kecolongan, bagaimana seorang Pepi Fernando yang lulusan UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta yang dikenal kampus moderen dan “liberal” mau-maunya
melakukan tindakan terorisme. Ya ini diantaranya akibat budaya diskusi dikalangan
mahasiswa menipis. Guru dan dosen tidak tampil menjadi sosok-sosok yang
menggugah kesadaran kritis. Budaya pragmatis rasanya telah menghanyutkan
civitas akademika. Tak berlebihan bila banyak yang menghubungkan radikalisme
anak-anak muda juga akibat dari guru-guru yang berpandangan radikal.
Pesantren
bisa menjadi tumpuan untuk membendung pemikiran radikal. Syaratnya, pesantren
yang moderat dan akrab dengan lokalitas
budaya. Kiai-kiai kampung pun bisa menjadi acuan deradikalisasi, karena mereka
inilah yang dekat dengan grass root
dan selalu menyampaikan ajaran Islam yang teduh dan arif.
Karakter
sendiri merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan
Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Fakta
bahwa bangsa ini -- seperti bangsa-bangsa yang lain di dunia -- hidup di tengah
kebudayaan global, justru harus menegaskan kesadaran mengenai pentingnya
kemampuan unjuk jati diri lewat keunggulan kompetitif bangsa. Kemampuan
bereksistensi di kompetisi global akan memperlihatkan kekuatan karakter kita.
Kebudayaan tidak cukup dipahami dari aspek kekaryaan, karena ia merupakan
kosmologi dari aspek-aspek karya-cipta-rasa-karsa, dan sejauh mana suatu bangsa
mampu memantulkannya sebagai denyut nadi kehidupannya.
Pemahaman
dan penghayatan kebudayaan bangsa secara holistik, baik dari internalisasi jati
diri maupun produk-produk budaya, akan terkait dengan masalah karakter.
Kosmologi keindonesiaan membutuhkan sikap, kebanggaan, dan visi kuat, sehingga
generasi bangtsa sampai kapan pun tidak akan kehilangan orientasinya. Kesadaran
kolektif itu dibutuhkan untuk membangun karakter keindonesiaan. Visi pendidikan
karakter, dari pendekatan ini, merupakan ikhtiar untuk mengalirkan arah menuju
raihan the best life bagi bangsa
Indonesia.
Kekarutmarutan
kehidupan bangsa lewat cermin degradasi budaya, terekspresikannya kecenderungan
anarkisme dan radikalisme termasuk di bidang keagamaan, membutuhkan jawaban
yang bukan sekadar represif lewat terapi hukum. Kita butuh landasan nilai-nilai
melalui pendidikan sejak dini. Pendidikan karakter sekaligus kebanggaan budaya
merupakan pilihan jalan.
Tampaknya,
banyak amatan perlunya ‘revolusi kebudayaan” di Indonesia demi menciptakan
“paradigma baru” keindonesiaan ditengah arus globalisasi. Pemikiran ini menjadi
penting dengan membandingkan sejarah sebelumnya seperti pada masa Soekarno,
Indonesia dikenal negara yang disegani karena memiliki “kepribadian nasional”
yang tangguh melalui penanaman marheinisme. Di Era Soeharto setidaknya muncul
upaya-upaya untuk lebih memantabkan penghayatan terhadap Pancasila. Sekarang
terlihat kemunduran dalam menciptakan “kepribadian nasional” sehingga bangsa
ini mudah sekali tergerus dalam mimikri globalisasi.
Karena
itulah, saat ini momentum untuk lebih banyak mengenalkan dan dialog dengan
generasi muda. Terutama sekali adalah para mahasiswa. Mereka perlu “didekatkan”
kembali dengan keindonesiaan yang
multikultural. Dalam situasi globalisasi yang diwarnai hiruk pikuk budaya impor
termasuk derasnya arus masuk idiologi transnasional, sangat mendesak kiranya
untuk mengajak para mahasiswa untuk menoleh kembali, mempelajari dan kemudian
mengamalkan “rasa keindonesiaan” yang multikultur secara kebudayaan ini. Hal
ini juga akan sangat berarti bagi pembangunan karakter anak bangsa serta
melawan radikalisme yang saat ini tengah merengsek masuk di benak kalangan anak
muda melalui pengajaran keagamaan yang sangat dangkal.
0 komentar:
Posting Komentar